Rabu, 28 November 2018

KEBIJAKAN PUBLIK


Berbicara tentang implementasi kebijakan tentunya tidak bisa dilepaskan dari kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain bidang kesejahteraan sosial (social welfare), bidang kesehatan, bidang perumahan rakyat, bidang pertanian, bidang pembangunan ekonomi, bidang hubungan luar negeri, bidang pendidikan nasional, dan sebagainya. Mengenai pengertian tentang kebijakan publik ini, pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) yang masing-masing definisi tersebut memberikan penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan.
Salah satu definisi mengenai kebijakan publik, diberikan oleh Carl Friedrich, (Winarno, 2002 : 16)  yaitu :
Sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijaksanaan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.

          Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
Metter dan Horn (Agustino, 2006:153) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut :
Policy implementation encompasses those ction by public and privat individuals (and groups) tahat are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan

 Implementasi kebijakan bisa dikatakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. 
Variabel atau dimensi yang mempengaruhi implementasi kebijakan dalam model Van Meter dan Horn Metter dan Horn (Agustino, 2006:154) adalah :
1)        Ukuran dan tujuan kebijakan.
      Kinerja  implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan            sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan.
2)        Sumber daya
      Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari   kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia seperti sumberdaya      manusia, sumberdaya waktu, dan sumberdaya finansial.
3)        Karakteristik agen pelaksana
       Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal      yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat        penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat banyak            dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen         pelaksananya.
4)        Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana
       Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak       mempengaruhi keberhasilan atau  tidaknya kinerja implementasi kebijakan.
5)        Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana
       Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan   publik.
6)        Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Selasa, 27 November 2018

Gambaran Umum Kabupaten Pangandaran



Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu daerah potensial untuk kegiatan pembangunan di Jawa Barat. Kabupaten Pangandaran dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat. Dengan ibukotanya adalah Parigi
 Kabupaten Pangandaran mempunyai Luas Wilayah 168.509 Ha, Luas Wilayah Laut 67.340 Ha, Panjang Pantai 91 Km dan Luas Wilayah Daratan 101.169,00 Ha ( Sawah 16.426,00 Ha, Hutan 27.764,17 Ha, Lahan Kering Lainnya 56.978.83 Ha ).
1.      Wilayah Kabupaten Pangandaran dibatasi oleh :
a)    Utara               : Kabupaten Ciamis;
b)   Barat                : Kabupaten Tasikmalaya;
c)    Selatan             : Samudra Hindia;
d)   Timur               : Kabupaten Cilacap ( Provinsi Jawa Tengah ).
2.      Kabupaten Pangandaran mempunyai Luas Wilayah diantaranya :
a)      Jumlah Kecamatan     : 10  Kecamatan.
b)      Jumlah Desa               : 93  Desa.
c)      Jumlah Dusun            : 433  Dusun.
d)     Jumlah RW                : 901  RW.
e)      Jumlah RT                  : 3305  RT.








Tabel 4.1
Data Wilayah Kabupaten Pangandaran
Tahun  2015

NO
KECAMATAN
JUMLAH
DESA
DUSUN
RW
RT
1.               
Cimerak
11
54
95
340
2.               
Cijulang
7
38
91
252
3.               
Cigugur
7
40
65
362
4.               
Langkaplancar
15
70
111
402
5.               
Parigi
10
53
121
401
6.               
Sidamulih
7
30
66
253
7.               
Pangandaran
8
31
97
337
8.               
Kalipucang
9
29
77
288
9.               
Padaherang
14
60
142
441
10.           
Mangunjaya
5
28
46
229
JUMLAH
93
433
901
3305
Sumber : Data Profil Kantor Kesbangpol Kabupaten Pangandaran

Senin, 26 November 2018

Desentralisasi Kabupaten Pangandaran



Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 Angka 7).
Pemekaran Kabupaten Pangandaran dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Ciamis. Daerah-daerah yang menderita kemiskinan terletak di wilayah dengan kondisi geografis berupa perbukitan dan di tepi pantai. Hampir semua darah tertinggal tersebut memiliki akses yang buruk. Melihat perseolan kemiskinan dan belum meratanya pembangunan juga mendorong beberapa kecamatan di Ciamis memekarkan diri. Setelah Kota Banjar yang terlebih dahulu memekarkan diri, kini Kecamatan Kalipucang, Padaherang, Mangunjaya Langkaplancar, Cimerak, Cijulang, Pangandaran, Cigugur, Parigi, dan Sidamulis pun sudah mengajukan wacana pembentukan Kabupaten Pangandaran yang sudah disetujui oleh DPRD dan sekarang sedang berlanjut dalam tahap pengkajian di Kementerian Dalam Negeri.
Pemekaran daerah merupakan perwujudan dari Asas Desentralisasi yang sebagaimana dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004. Saya berpendapat bahwa apabila Pemekaran Kabupaten Pangandaran itu terealisasikan, tidak menutup kemungkinan-kemungkinan akan timbul permasalahan-permasalahan terhadap pelaksanaan otonomi daerah apabila mengacu pada asas dan sistem otonomi yang kita kenali.
Adapun Permasalahan pelaksanaan Desentralisasi di Kabupaten Pangandaran yaitu :
Yang Pertama Permasalahan dalam pemekaran anggaran dan fasilitas, Seperti pembangunan gedung, pengangkatan pegawai, anggaran Pemilu Kepala Daerah, dan masih banyak biaya lain yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengadaan instansi yang menunjang kegiatan pemerintahan di Kabupaten Pangandaran dan tidaklah aneh pada saat fase Pembangunan Daerah baru ini sering terjadi ajang untuk korupsi dari dana pengadaan fasilitas-fasilitas daerah baru oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik.
Yang kedua adalah permasalahan terkait dengan aspek politik dan birokrasi, pada waktu masa kepemimpinan rezim orde baru yang menganut asas Sentralisasi keadaan politik dan birokrasi di Indonesia cenderung lebih stabil dan tidak panas seperti keadaan politik pada masa sekarang (Pasca Reformasi). Dengan adanya Pemekaran Kabupaten Pangandaran dan daerah-daerah lainnya (sebagai wujud dari asas Desentralisasi), akan menjadi arena bagi partai politik untuk meramaikan dan mengadu nasib dalam perebutan kekuasaan di daerah, yang terkadang dapat menimbulkan gesekan-gesekan politik yang dapat menimbulkan konflik yang dapat berujung pada persaingan politik yang tidak sehat, manipolitik, kekerasan, dan hal-hal lainnya yang dapat menimbulkan disintegrasi masyarakat.
Yang ketiga adalah permasalahan terkait dengan tumpang tindih dari pelaksanaan sistem otonomi itu, karena Indonesia tidak secara tegas menganut Sistem Otonomi Formil ataupun Materiil, namun menganut Sistem Otonomi jalan tengah yaitu Sistem Otonomi Riil (Otonomi Nyata). Persoalannya adalah yang manakah yang dominan diantara kedua teori itu? Apakah keduanya berjalan secara seimbang? menurut Prof. Bagir Manan dari apa yang diuraikan oleh Tresna, timbul kesan bahwa sebagai jalan tengah, sistem rumah tangga riil ini lebih mengutamakan asas formalnya. Dalam sistem rumah tangga formal terkandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem rumah tangga materiil akan merangsang timbulnya ketidakpuasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah.[1][4] Di dalam sistem rumah tangga riil ini asas materil berperan memberikan kepastian sejak awal mengenai urusan daerah, karena melalui sistem ini urusan pangkal yang diserahkan untuk kemudian dikembangkan dengan sistem rumah tangga formal yang lebih memberi kebebasan dan kemandirian. Namun menurut pendapat saya tidak menutup kemungkinan apabila dalam pelaksanaannya sistem otonomi nyata ini tidak akan berjalan secara efektif karena ketidakpastian prinsip yang dianut oleh sistem ini.
Yang ke empat pelaksanaan pelayanan publik di Kabupaten Pangandaran belum  maksil dari awal terbentuknya kabupaten pangandaran sampai saat ini, ini mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintahan yang kurang optimal, belum terasanya dampak dari pemekaran sendiri yang tadinya bertujuan untuk memudahkan akses dalam keperluan masyarakat dan meningkatkan tarap ekonomi masyarakat malah pemerintah terkesan lamban.
Yang ke Lima penetapan pegawai hasil mutasi yang tidak sesuai dengan bidang yang dikuasainya, pelaksanaan pemerintahan akan berjalan lamban terkait terjadinya perotasian pegawai yang bukan pada tempatnya yang artinya pelaksanaan kerja akan menyita waktu yang lama untuk menyesuaikan dan memahami pekerjaan yang dihadapinya, sehingga proses pembangunan kabupaten pangandaran akan terasa sangat lamban dan tidak sesuai dengan harapan pemekaran kabupaten pangandaran, hal ini menimbulkan pertanyaan dan prasangka masyarakat bahwaadanya isue-isue money politic di kalangan para elit politik yang berada di kabupaten pangandaran,
Yang ke Enam belum optimalnya pengelolaan objek wisata tang berda di kabupaten pangandaran aspek pembangunan yang lamban dan sarana prasarana di objek wisata yang kurang memadai, menimbulkan kurangya kenyamanan bagi pendatang yang ingin berwisata, akses jalan yang kurang memadai berdampaki pada kurangnya pendatang yang ingin berwisata ke Pangandaran, sedangkan potensi PAD Kabupaten Pangandaran akan dipusatkan kepada Objek wisata, banyaknya objek wisata yang belum tergali di Kabupaten Pangandaran.
Tekanan terhadap organisasi sektor publik, khususnya organisasi pemerintah baik pusat dan daerah serta perusahaan milik pemerintah, dan organisasi sektor lainnya untuk memperbaiki kinerjanya mendorong dibangunnya sistem manajemen organisasi sektor publik.
Tugas utama pemerintah sebagai organisasi sektor publik terbesar adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya berupa kesejahteraan fisik yang bersifat material saja, namun termasuk kesejahteraan nonfisik yang lebih bersifat immaterial.


KESIMPULAN
 Bahwa Pemekaran Kabupaten Pangandaran akan sangat efektif mengingat potensi dan ciri khas di Daerah Pangandaran itu sendiri sangat baik dan memiliki kekhasan yaitu sebagai tempat wisata, dan dengan adanya pemekaran Kabupaten Pangandaran ini niscaya akan memajukan sektor pariwisata di Indonesia dan pembagunan Infrastruktur dan tata kota akan berjalan dengan baik. Namun pada saat ini belum terasanya hasil pemekaran yang mengacu terhadap tujuan tersebut.
pada pelaksanaan otonomi daerah yang mengalami perubahan secara ekstrem. Baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah harus menjalankan masing-masing urusan dan wewenangnya secara selaras dengan baik agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Saran
Ø  Pelaksanaan pemerintahan harus dapat terlaksana dengan baik, melalui perencanaan dan sektor pelaksanaan yang berjalan sesuai target dan tujuan pemekaran.
Ø  Pemerintah kabupaten pangandaran harus seoptimal mungkin melayani masyarakat, mengedepankan kedisiplinan dan tidak berleha-leha terhadap pelayanan masyarakat
Ø  Bupati harus mampu menempatkan seorang pegawai pada posisi sesuai dengan kemampuannya, bukan karena hal yang dapat merugikan kemajuan kabupaten, ketegasan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan saangatlah penting untuk kemajuan Kabupaten Pangandaran.
Ø  Pemerintah Kabupaten Pangandaran harus lebih mengedepankan pembangunan di sektor kepariwisataan, karena selama ini pembangunan sektor pariwisata di Kabupaten Semarang  masih banyak yang terbengkelai dengan dibangunya obyek-obyek  wisata harapannya pengunjung akan meningkat dan dengan meningkatnya pengunjung pendapatan ekonomi masyarapat akan meningkat pula. 
Ø  Pangandaran Kabupaten Semarang harus lebih meningkatkan sarana prasarana, karena itu merupakan faktor penunjang utama untuk mempermudah pengunjung datang  ke obyek wisata tersebut.




Rabu, 19 September 2018

Sejarah Lahirnya Orde Baru

Sejarah Kelahiran Orde Baru

Sejarah mencatat, sebelum Orde Baru lahir didahului dengan meletusnya tragedi nasional yang sering disebut dengan Pemberontakan G 30 S / PKI, tepatnya tanggal 30 September 1965.
Peristiwa ini puncaknya adalah dini hari, tanggal 1 Oktober 1965. Peristiwa itu menyebabkan enam Jenderal terkemuka dibunuh secara kejam dan sadis oleh komplotan militer yang mempunyai hubungan dengan PKI. Banyak versi yang berusaha mengungkap siapa pelaku peristiwa tersebut, namun umumnya yang diakui oleh banyak kalangan PKI-lah pelakunya.
Seusai peristiwa berdarah yang merenggut enam nyawa Jenderal TNI AD itu, 30 September 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar yang kemudian justru menjadi titik awal kelahiran Orde Baru (Pusponegoro dan Notosusanto, 1993 : 406). Isi dari Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
tersebuat ialah memberikan kekuasaan kepada Letjen. Soeharto, untuk dan atas nama Presiden / Panglima Tertinggi / Pemimpin Besar Revolusi, mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminya keamanan, ketenangan, serta kesetabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden / Panglima Tertinggi / Pemimpin Besar Revolusi / Mandataris MPRS, serta demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Isi lengkap dari Surat Perintah Tersebut ada di lampiran 1 (Tim Dokumentasi Presiden RI, 1991: 54).

Pada saat terjadi peristiwa pemberontakan G 30 S / PKI Grobogan dinyatakan sebagai daerah berbahaya kedua setelah Temanggung. Maka dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966, segenap masyarakat Kabupaten Grobogan segera melakukan konsolidasi guna pengejaran / pembersihan terhadap oknum-oknum masyarakat yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan gerakan G 30 S / PKI. Dalam hal ini ABRI bersama rakyat bekerja sama erat dan serentak dengan unsur-unsur masyarakat lain dengan semangat berkobar-kobar berusaha mengganyang sisa-sisa G 30 S / PKI di Kabupaten Grobogan. (Tim Universitas Sebelas Maret, 1991: 61).

Tonggak awal kelahiran Orde Baru adalah ketika diserahkannya Supersemar 1966 dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi kunci yang sangat menentukan. Supersemar yang pada awalnya hanya berupa surat perintah biasa dari Presiden Soekarno kemudian dalam Sidang Umum ke IV MPRS ditetapkan sebagai Ketetapan MPRS No. IX / 1966. Sidang Paripurna terbuka MPRS menyetujui dan memperkuat Surat Perintah yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 oleh Presiden / Panglima Tertinggi / Mandataris MPRS dan ditujukan kepada Letjen. Soeharto selaku Menpangad. Dalam siding tersebut anggota-anggota MPRS secara bulat menyetujui ditingkatnnya Supersemar menjadi Ketetapan MPRS No. IX / 1966. Dengan ketetapan ini berarti bahwa Supersemar tidak dapat ditarik kembali oleh Presiden / Panlima Tertinggi ABRI / Mandataris MPRS, sebab hanya MPRS-lah yang berhak untuk membatalkannya. Isi lengkap Ketetapan tersebut ada di lampiran 2 (Tim Dokumentasi Presiden RI,1991: 86).

Ketetapan ini selanjutnya dijadikan landasan politik bagi beroperasinya pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto. Bersama dengan itu Supersemar ditetapkan sebagai salah satu sumber hokum Republik Indonesia dan tertuang dalam Tap MPR No. XX / MPRS 1966 mengenai memorandum DPR-GR tentang sumber tertib hokum RI dan tata urutan peraturan perundangan dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI.

Dengan demikian Supersemar dianggap sebagai landasan hukum dan politik bagi keberadaan rezim Orde Baru di Indonesia. Pada tahun 1967 MPRS melakukan Sidang Istimewa, dalam sidang tersebut Komisi A MPRS telah berhasil membuat Rancangan Ketetapan mengenai Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan Mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Alasan yang mendasari Rancangan Ketetapan ini adalah bahwa Presiden tidak dapat memenuhi tanggungjawab konstitusional, dan bahwa Presiden tidak dapat menjalankan haluan negara dan keputusan MPRS. MPRS menerima dan mensahkan Rancangan Ketetapan MPRS No. XXXIII / MPRS / 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno.

Jenderal Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden RI. Pelantikan ini merupakan pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XXXIII / 1967 yang menetapkan mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan menarik kembali mandate MPRS dari Presiden Soekarno. Ketetapan ini selanjutnya menetapkan mengangkat Pemegang Ketetapan MPRS No. IX / 1966, Jenderal Soeharto, sebagai Pejabat Presiden sampai dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Awal kelahiran Orde Baru ini juga dihadapkan pada persoalan lumpuhnya ekonomi negara yang ditunjukan dengan laju inflasi yang sangat tinggi. Menurut Frans (1998), pada waktu masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru juga terjadi krisis ekonomi (1966-1968). Krisis ekonomi tersebut disebabkan oleh etatisme yaitu negara terlalu berkuasa dalam komando ekonomi, juga terjadi defisit yang terakumulasi sejak 1960 hingga 1966 yang menyebabkan timbulanya inflasi sebesar 650 persen serta pada waktu itu negara tidak menganggap dunia luar atau istilahnya “go to hell”-kan dunia luar. Adapun kebijakan yang diambil untuk mengatasi krisis tersebut adalah dengan menentukan kebijakan yang akan diambil yakni enam bulan untuk rescue operation (operasi penyelamatan), serta dua tahun untuk stabilitas, sehingga baru pada 1 April 1969 kita bisa melakukan pembangunan. Rincian operasi penyelamatan krisis ekonomi tersebut adalah dengan menetukan target. Target pertama adalah mengenai pangan dan yang kedua adalah mengenai pembayaran hutang dikarenakan apabila tidak bisanmembayar negara kita dianggap bangkrut. Program penyelamatan tersebut lalu disusun bersama dengan IMF, pada 31 Agustus 1966 program tersebut dibawa ke siding cabinet untuk dimintakan persetujuan. Setelah delegasi Indonesia berangkat keseluruh dunia membawa program tersebut. Delegasi tersebut adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Frans Seda, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan dua anggota DPR, negara yang menjadi tujuan adalah Inggris, Belanda, Jerman kemudian Tokyo. Kemudian berdasar program tersebut maka pada 3 Oktober 1966 keluarlah peraturan pemerintah pertama yang telah disetujui oleh DPR yang kemudian dikenal dengan “peraturan 3 Oktober”. Setelah dikeluarkan peraturan tersebut kepercayaan dunia menjadi semakin bertambah dan pada 7 Februari 1967, terbentuklah IGGI, kelompok negara donor kita (Frans Seda, FORUM, 1998: 82-83).

Pada sisi lain, awal kelahiran Orde Baru ini dihadapkan pada dua persoalan besar sebagai warisan sejarah Orde Lama, yaitu politik dan lumpuhnya ekonomi yang ditunjukan dengan laju inflasi yang sangat tinggi. Kondisi perpolitikan menjelang dan pada permulaan berdirinya Orde Baru memang terlihat sangat kacau dan sulit dikendalikan. Hal ini akibat logis dari langgam politik Orde Lama yang otoritarian dalam bingkai Demokrasi Terpimpin menuju bentuk kearah “Demokrasi Pancasila” dibawah pemerintahan Orde Baru.

Kamis, 13 September 2018

Budaya Politik


Budaya Politik

Dengan adanya perbedaan yang berpotensi besar dalam orientasi-orientasi politik, di beberapa komunitas politik terdapat budaya politik yang berbeda dan terbatas dalam memberi makna, prediktabilitas, dan bentuk proses politik. Budaya politik sendiri dapat dimengerti sebagai serangkaian sikap, kepercayaan, dan pandangan/keyakinan anggota masyarakat yang mempunyai pengaruh di dalam pengaturan sistem/proses politik, serta suatu perasaan, sikap, dan pandangan yang mendasari pemahaman masyarakat terhadap perilaku-perilaku politik dalam sistem politik.
Oleh karena itu budaya politik juga mencakup “the political ide and the operating norms of a polity”. Dengan demikian budaya politik kemudian merupakan manifestasi bentuk agregasi dimensi-dimensi psikologis dan subyektif dari politik, serta merupakan produk dan rangkaian sejarah sistem politik dan pengalaman hidup anggota-anggota sistem tersebut yang berakar dengan baik pada peristiwa-peristiwa umum maupun pengalaman-pengalaman sendiri.
Di kebanyakan negara, kemungkinan tidak adanya suatu budaya politik massa yang secara umum bersatu, tetapi sebaliknya ada banyak perbedaan budaya politik massa yang terbagi menurut kelas, wilayah, komunitas etnis maupun pengelompokan sosial. Keragaman sikap dan opini seperti itu tidak perlu menimbulkan masalah-masalah identitas maupun legitimasi. Bagi pembangunan politik yang stabil tidak mensyaratkan suatu budaya politik yang homogen, dan pada beberapa masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan pluralisme ternyata lebih mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang berkelanjutan.
Salah satu faktor pendukung atau penghambat keberhasilan pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi adalah keadaan sosial budaya negara itu sendiri. Lingkup dan fungsi politik itu akan berbeda antara satu macam budaya politik dengan yang lain. Dalam budaya politik demokratis misalnya, biasanya terdapat perasaan yang jelas mengenai batas-batas yang pasti dalam kehidupan politik, ada pengakuan eksplisit terhadap permasalahan-permasalahan baru, serta berkaitan dengan tingkatan spesialisasi fungsional dalam mengendalikan persoalan. Demikian pula, dalam budaya politik demokratis biasanya, kekuasaan menjadi bersifat relatif dalam hal pembuatan kebijakan politik, karena kuatnya kontrol sosial dan tingginya partisipasi politik rakyatnya.

Rabu, 12 September 2018

Pengelolaan Sumber Pendapatan Desa


Mengelola sumber pendapatan desa dengan 
memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki

Otonomi desa merupakan salah satu aspek penting, karena otonomi desamenggambarkan kemampuan pemerintah desa dalam meningkatkan PADes seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Namun harus diakui bahwa derajat otonomi desa masih rendah, artinya desa belum mampu membiayai pengeluaran rutinnya. Karena itu otonomi desa bisa diwujudakan hanya apabila
disertai keuangan yang efektif. Pemerintah desa secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat/daerah dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PADes.
Selama ini sumber dana PADes masih mencerminkan ketergantungan desa kepada pemerintah pusat/darah masih sangat dominan. Keleluasaan dalam usaha menggali sumber-sumber peneriman tersebut, banyak desa yang memikirkan bagaimana meningkatkan tarif pajak dan retribusi daerah serta obyek-obyek pajak dan retribusi yang baru.
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian Pemerintah desa yang dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga publik di  desa dalam mengelola sumber daya yang ada.
Upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya harus dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang dimiliki oleh pemerintah desa akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 
a.    Adanya upaya untuk memaksimalkan pendapatan desa berdasarkan potensi desa yang dimiliki
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah desa dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan desa. Salah satu aspek  dari pemerintahan desa yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa karena  merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah desa.
Sebagai instrumen kebijakan, APBDes menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah desa. APBDes digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan APBDes hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program dan aktivitas yang menjadi preferensi desa yang bersangkutan. Untuk memastikan bahwa pengelolaan potensi desa telah dilakukan sebagaimana mestinya perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah desa..
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden nomor 1, 2, 3, 4, 5, 10, dan 12 diperoleh keterangan bahwa pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang dalam melaksanakan pengelolaan potensi desa beupaya untuk mengoptimalkan potensi yang telah dimiliki dan berupaya untuk menggali potensi-potensi yang ada yang memungkinkan dapat dijadikan sumber-sumber pendapatan desa. sumber-sumber pendapatan desa tersebut nantinya akan mampu membiaya pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan dan pelaksanaan program-program yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan responden nomor 6, 7, 8, 9 dan 11 diperoleh keterangan bahwa sampai saat ini pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang dapat dikatakan sudah melakukan upaya untuk memaksimalkan pendapatan desa sesuai dengan potensi desa yang dimiliki. dalam pengunaan keuangan desa pun pemerintah desa Cijulang sudah tepat sasaran karena setiap pelaksanaan pembangunan desa yang dilakukan sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijuang dalam memaksimalkan pendapatan desa sesuai dengan potensi desa yang dimiliki telah melakukan upaya-upaya yaitu dengan berusaha mengoptimalkan pendapatan desa melalui pengelolaan potensi desa yang sudah ada serta berusaha mencari dan menggali potensi-potensi lain yang bisa dijadikan sumber pendapatan desa sehingga di masa yang akan datang potensi desa dapat lebih meningkat.

b.      Upaya-upaya untuk meminimalisir pengeluaran
Pengelolaan keuangan desa harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.  Transparansi merupakan keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan desa sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh BPD dan masyarakat.
Transparansi dalam pengelolaan keuangan desa pada akhirnya akan menciptakan kerja sama  antara pemerintah desa dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan desa yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. 
Penerimaan dan pengeluaran Desa (APBDes) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap penerimaan dan pengeluaran desa agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab dan tindakan antisipasi ke depan.  
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan desa tersebut harus senantiasa dipegang teguh dan  dilaksanakan oleh penyelenggara Pemerintahan desa, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah desa , yaitu pengelolaan keuangan desa harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/ pengendalian keuangan desa. 
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden nomor 1, 2, 3, 4, 6, 8 dan 12 diperoleh keterangan bahwa dalam meminimalisir pengeluaran, pemerintah desa melakukan pengeluaran-pengeluaran keuangan desa baik dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan desa maupun dalam pemberian pelayanan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dengan demikian pengeluaran keuangan desa dapat berjalan efektif dan efisen bukan pemborosan.
Sementara hasil wawancara dengan responden nomor 5, 7, 9, 10 dan 11 diperoleh keterangan bahwa sampai saat ini pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang sudah cukup baik dalam pengelolaan keuangan desa karena pemerintah desa dapat melakukan pengelolaan keuangan dengan baik dan pengunaan keuangan desa pun lebih diutamakan untuk kepentingan masyarakat.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijuang dalam upaya-upaya untuk meminimalisir pengeluaran keuangan desa dapat berjalan efektif dan efisen serta bukan merupakan pemborosan. Pemerintah desa melakukan pengeluaran-pengeluaran keuangan desa baik dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan desa maupun dalam pemberian pelayanan masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

c.       Penggunaan keuangan  tepat sasaran
Kemampuan pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PADes) bisa diwujudkan  hanya apabila disertai kemandirian desa dalam melakukan pengelolaan keuangan desa secara efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan desa secara finansial harus berupaya untuk mandirai tidak selalu bergantung pada terhadap pemerintah pusat/daerah dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber – sumber PADes
Kemampuan desa dalam membiayai pembangunan masih sering mengalami kendala berupa rendahnya kemampaun pemerintah dalam meningkatkan PADesnya. Faktor keuangan merupakan hal yang penting dalam setiap kegiatan pemerintahan desa , karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan desa yang tidak membutuhkan biaya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan resoponden nomor 1, 2, 3, 5, 6, 10, 11 dan 12 diperoleh keterangan bahwa pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang selalu berupaya untuk menggunaan keuangan desa secara tepat yaitu dengan cara melaksanakan pembangunan desa sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat serta dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan keuangan desa digunakan hanya untuk keperluan yang dibutuhkan saja.
Selanjutnya dari hasil wawancara dengan responden nomor 4, 7, 8 dan 9 diperoleh keterangan bahwa pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang dalam melakukan pengelolaan keuangan desa sudah cukup baik hal ini terlihat dari pengunaan atau pengalokasian keuangan desa dalam APBDes lebih mementingkan kepentingan masyarakat serta dalam pelaksanaan pembangunan sampai saat ini selalu sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan diketahui bahwa pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang telah melakukan pengelolaan keuangan desa cukup baik. karena penulis melihat dalam penggunaan kuangan desa, misalnya untuk melaksanakan pembangunan pemerintah desa Cijulang Kecamatan Cijulang senantiasa melihat aspirasi yang berkembang di masayrakat sehingga pelaksanaan pembangunan desa tersebut menjadi lebih tepat sasaran.

Pengertian Otonomi Daerah

Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli Pengertian otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentinga...